Majapahit runtuh bukan sebab serangan tentara Demak, Majapahit runtuh lebih karena sebab konflik internal di pusat kekuasaan sejak meninggalnya prabhu Hayam Wuruk. Majapahit runtuh dimulai dengan adanya perang saudara yang berkepanjangan yang disebut dengan perang Paregreg.
Perhatikan ungkapan di bawah ini :
Raden Patah akan dianggap sebagai anak yang durhaka dan tak tahu balas budi. Sudah diberi kekuasaan, malah menikam ayahandanya sendiri dari belakang. Ia menyerang dan menghancurkan kerajaan Majapahit.
Fakta sejarah ini sebenarnya tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat. Fakta sejarah ini, terutama dicatat dalam naskah Darmogandul dengan tema Sabdopalon. Dikisahkan, Raden Patah dengan kerajaan barunya, yaitu Kerajaan Demak, menyerang Kerajaan Majapahit yang notabene dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Bhre Kertabhumi (Brawijaya V).
Pada dasarnya, belum ada bukti konkret tentang kebenaran penyerangan Raden Patah atas Kerajaan Majapahit (di Trowulan). Dalam catatan yang ditulis oleh Darmogandul, Raden Patah menyerang Majapahit dan mengakibatkan runtuhnya Majapahit adalah pada tahun 1478 M.
Padahal, sebagaimana disebutkan oleh Kitab Pararaton, pada tahun-tahun tersebut—yaitu pada tahun 1478—Kerajaan Majapahit justru diserang oleh Samarawijaya dan tiga saudara-saudaranya, karena menganggap raja yang berkuasa di Majapahit, yaitu Raja Dyah Suraprabhawa, tidak berhak atas tahta kerajaan Majapahit. Dyah Suraprabhawa merupakan adik bungsu raja sebelumnya, yaitu Rajasawardhana.
Saat Rajasawardhana wafat, ia digantikan oleh Girisawardhana. Nah, setelah wafatnya Girisawardhana inilah, Dyah Suraprabhawa tampil menjadi raja pengganti. Hal ini menimbulkan ketidakpuasaan putra-putra Rajasawardhana yang merasa lebih berhak atas tahta kerajaan Majapahit.
Pemberontakan Samarawijaya atas Majapahit yang terjadi pada tahun 1478 M tersebut, mengakibatkan tewasnya raja Majapahit (Bhre Kertabhumi) dan Samarawijaya itu sendiri. Dalam Kitab Pararaton kemudian disebutkan dengan, "kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400" (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).
Namun demikian, kemenangan telak berada di tangan pasukan Samarawijaya. Hal ini bisa dibaca dalam prasasti Petak yang menuliskan ungkapan "kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit" (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Inilah akhir dan keruntuhan Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Para putra Rajasawardhana kemudian membentuk kerajaan baru di Dhaha, yaitu kerajaan Keling.
Pada saat yang sama, juga telah berdiri kerajaan Demak yang bercorak Islam sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Hubungan Kerajaan Demak dan Kerajaan Keling memanas, ketika kerajaan yang dipimpin oleh putra Rajasawardhana ini bersekutu dengan orang asing, yaitu Portugis. Karena persekutuan tersebut, Kerajaan Demak yang sudah dipimpin oleh Sultan Trenggono, menyerbu kerajaan Keling. Dan, berakhirlah kerajaan Keling tersebut.
Yang lebih mengenaskan lagi, karena peralihan antara kerajaan Majapahit menuju kerajaan Demak, selalu dihubung-hubungkan sebagai perang "antar-agama", yaitu agama Hindhu-Budha yang dianut Majapahit dan Islam yang telah dianut oleh Kerajaan Demak. Ini adalah suatu fakta yang berlebihan. Sebab, sebagaimana kerajaan-kerajaan di tanah Jawa di era sebelum-sebelumnya, persoalan agama sangat jarang menjadi pemantik konflik, apalagi sampai menyebabkan perang berdarah.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit, tidak berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Demak dengan alasan keagamaan. Tetapi, keruntuhan Majapahit lebih banyak disebabkan konflik berkepanjangan para pemimpin internal kerajaannya sendiri. Urusan-urusan kerakyatan jadi terabaikan, Negara pun tidak lagi mampu untuk hadir dalam melindungi rakyatnya.
Berdirinya Kerajaan Demak, kemudian menjadi harapan baru bagi rakyat akan hadirnya perubahan yang lebih baik, damai, aman dan sejahtera. Dengan kata lain, tanpa diserang pun, Kerajaan Majapahit pasti akan runtuh sendiri karena sudah kronis dalam konflik tak berkesudahan.
Jatuhnya kerajaan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya yang bernama Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) yang juga menuntut haknya atas takhta kerajaan. Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405 M-1406 M, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi oleh Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426 M, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 M sampai 1447 M. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Bhre Wirabhumi. Pada 1447 M, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451 M. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 M. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456 M. Ia kemudian wafat pada 1466 M dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 M pangeran Kertabhumi (Bhre Kertabhumi) memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama Islam sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian Barat Nusantara. Di bagian Barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474 M. Pada 1478 M Ranawijaya kemudian berhasil mengalahkan Bhre Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 M hingga 1519 M dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai Utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 M(tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527 M.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi "sirna ilang kretaning bumi". Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”.
Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah peristiwa gugurnya Bhre Kertabhumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527 M. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527 M, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 M dan 1521 M. Demak kemudian memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa-sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung Timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian Barat.
Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Demikian penjelasan tentang Majapahit runtuh bukan sebab serangan Demak, semoga dapat memberikan wawasan berpikir yang baru.
Posting Komentar