Sampai dengan keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak ada tokoh negarawan yang begitu terkenal dari masa Indonesia kuno, selain Gajah Mada. Tokoh Majapahit tersebut tetap layak diperbincangkan, bahkan hingga masa Indonesia mendatang. Mahapatih Gajah Mada ketenarannya melampaui para penguasa Majapahit yang menjadi tumpuan pengabdiannya, nama Gajah Mada jelas lebih populer dari pada raja Jayanagara (1309—1328 M), Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328—1351 M), dan bahkan Sri Rajasanagara/Hayam Wuruk (1351—1389 M) sendiri. Walaupun demikian banyak kabut gelap yang masih menutupi kehidupan tokoh kontroversial tersebut, contohnya saja adalah dua babakan penting kehidupannya, yaitu (a) dari mana asal-usulnya, dan (b) menghilangnya Gajah Mada dari sejarah Majapahit.
Tokoh Gajah Mada yang kontroversial
Dalam kajiannya yang berjudul Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit (1983), Slamet Mulyana dengan tegas menyatakan hal yang berikut ini :
“Prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada zaman Majapahit ada di antaranya yang menyebut nama Gajah Mada (baca : Mpu Mada) dan menyinggung jasa-jasanya selama memangku jabatan Patih Hamangkubhumi. Namun tidak pernah dijumpai pernyataan tentang asal-usulnya. Yang pasti ialah, bahwa Gajah Mada bukan orang bangsawan, keturunan salah seorang raja negara bawahan; gelar yang disandangnya bukan "dyah" melainkan "mpu". Ini berarti menurut alurannya Gajah Mada adalah keturunan orang kebanyakan“ (1983: 172—2).
Demikian Slamet Mulyana telah menjatuhkan sebuah vonis yang telak kepada Gajah Mada bahkan dikatakan bahwa ia bukanlah dari keturunan bangsawan. Begitupun sumber-sumber dari Bali menyatakan bahwa Gajah Mada dilahirkan secara mitos, ia keluar dari buah kelapa yang terbelah dan dipandang sebagai keturunan Narayana (Wisnu) (Yamin 1977: 13).
Apakah benar asal-usul Gajah Mada begitu sulitnya untuk ditelusuri ? Rupanya tidaklah demikian adanya, sebab bilamana kita telusuri secara lebih teliti, terdapat data-data arkeologis dengan berbagai sokongan sumber tertulis maupun prasasti yang mampu menjelaskan siapa jati-diri tokoh Gajah Mada yang legendaris tersebut.
Dalam masa Jawa Kuno (masa kerajaan Singhasari-Majapahit) sebuah candi atau caitya bagi pemuliaan seorang tokoh (pendharmaan), selalu dibangun oleh kaum kerabat atau keturunan langsung tokoh tersebut. Banyak candi pendharmaan yang didirikan oleh anak-cucu sang tokoh, misalnya Candi Jago (Jajaghu) yang pernah dibangun dalam masa Singhasari untuk raja Wisnu-warddhana diperbaiki kembali oleh Mpu Aditya (Adityawarman) dalam masa Majapahit pada kisaran tahun 1265 Saka/1343 M, Candi Sumberjati bagi Nararya Sanggramawijaya dibangun pada sekitar tahun 1321 M dalam masa pemerintahan Jayanagara, dan Candi Bhayalango pendharmaan bagi Rajapatni Gayatri dibangun oleh cucunya, yaitu Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) di sekitar tahun 1362 M.
Demikianlah berdasarkan data-data tersebut di atas, kitanya dapat ditafsirkan bahwa sangat mungkin Gajah Mada masih keturunan dari raja Kertanagara ! Setidaknya Gajah Mada masih mempunyai hubungan darah dengan Kertanagara. Oleh karena itu, Gajah Mada mempunyai perhatian khusus kepada raja Singhasari itu yang memang leluhurnya. Telah dikemukakan di bagian terdahulu kajian ini bahwa Gajah Mada bukan orang asing dalam lingkungan istana; Gajah Mada masih kerabat dan akrab dengan kehidupan istana. Gajah Mada mungkin sekali anak seorang pahlawan pengiring Raden Wijaya, yaitu Gajah Pagon.
Interpretasi selanjutnya adalah bahwa Gajah Pagon sangat mungkin anak dari salah seorang selir raja Kertanagara, bukan anak permaisuri. Adapun keempat istri Raden Wijaya adalah putri-putri Kertanagara dari permaisurinya. Perhatikan pernyataan Raden Wijaya dalam kitab Pararaton yang sangat mengkhawatirkan keadaan Gajah Pagon tersebut, dia terluka dan dititipkan kepada kepala Desa Pandakan sebagai berikut :
"Sira Gajah Pagon tan kawasa lumaku; andika nira Raden Wijaya: “Buyuting Pandakan, ingsun atuwawa wong sawiji, Gajah Pagon tan bisa lumaku didine ring sira” (Brandes, 1920: 27; Padmapuspita, 1966: 29).(Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkatalah Raden Wijaya: ”Kepala Desa Pandakan saya titip seseorang, Gajah Pagon tidak dapat berjalan, lindungilah olehmu”).
Dalam hal pengiring Raden Wijaya yang terluka atau tewas, Pararaton hanya menyebutkan secara khusus tokoh Gajah Pagon tersebut, artinya penulis Pararaton begitu mengistimewakan tokoh Gajah Pagon ini. Jika ia bukan siapa-siapa, tidak mungkin Raden Wijaya menitipkan dengan sungguh-sungguh Gajah Pagon yang terluka itu kepada kepala Desa Pandakan. Babakan selanjutnya adalah bahwa sangat mungkin Gajah Pagon selamat, kemudian menikah dengan putri kepala Desa Pandakan dan akhirnya mempunyai anak Gajah Mada yang mengabdi kepada istana Majapahit. Jadi Gajah Mada dengan Tribhuwanottunggadewī mungkin saja mempunyai eyang yang sama, mereka adalah cucu-cucu Kertanagara sang Bhattara Śiva-Buddha. Perbedaan terletak pada garis keturunan, Gajah Mada cucu dari istri selir Kertanagara; sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara, sang permaisurinya, hanya saja nama permaisuri Kertanagara ini belum dapat diketahui, dan sangat mungkin telah meninggal saat penyerbuan oleh kerajaan Gelang-Gelang (Jayakatwang).
Selanjutnya dapatlah dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Raja Kertanagara, karena raja itu tiada lain adalah eyangnya sendiri, hanya keturunannya sajalah yang dengan senang hati membangun caitya bagi diri sang raja. Kertanagara mungkin sangat menginspirasi Gajah Mada, terutama dalam hal pengembangan konsepsi Dwipantara mandala yang mendorong Gajah Mada mencetuskan sumpah Palapanya. Bagi Gajah Mada, tokoh Kertanagara adalah raja besar yang patut dijadikan teladan, layak mendapat pemujaan dan pemuliaan walaupun dia telah tiada. Demi untuk mengenang kebesaran leluhurnya lalu didirikanlah sebuah caitya atau Candi yang dikenal dengan Candi Singhasari sekarang ini.
Candi Singhasari sebagai pendharmaan Raja Kertanegara
Kajian dalam artikel ini berupaya melengkapi data tentang tokoh Gajah Mada dengan bertumpu kepada data sezaman yang sebenarnya telah selesai digarap oleh para ahli, namun belum dikaji atau dibicarakan secara lebih lanjut lagi. Jadi data itu telah tersedia, hanya saja terabaikan dan masih harus mendapat penelitian lanjutan secara lebih cermat dan seksama. Beberapa aspek kajian tentang Gajah Mada berdasarkan tinjauan terhadap beberapa data yang telah lama ada, yaitu:
1. Pemuliaan Gunung Penanggungan : "Putera Pawitra"
Terdapat suatu hal yang istimewa pada sebuah batu prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada, prasasti itu dikenal dengan nama Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 Śaka/1351 M (Nakada 1982: 120—1), pada tahun yang sama itu pula Hayam Wuruk mulai memerintah kerajaan Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Batu prasasti telah dibentuk terlebih dahulu, pipih diratakan, puncaknya berbentuk busur kurawal yang dilengkapi dua tonjolan kecil di kanan-kiri, tonjolan utamanya di tengah. Jadi seakan-akan menggambarkan rangkaian pegunungan, terdapat gunung tertinggi di tengah dan diapit oleh dua puncak lainnya yang lebih rendah di kanan-kirinya.
Prasasti Gajah Mada (Singhasari) 1351 M
Begitupun di bagian dasar batu prasasti digambarkan secara jelas dalam bentuk relief rendah adanya 3 gunung, gunung yang tengah lebih tinggi diapit oleh dua gunung lain di kanan-kirinya. Bentuk-bentuk hiasan pada batu prasasti (Gupala prasasti) ditemukan juga pada prasasti lainnya, misalnya di bagian puncak prasasti-prasasti Airlangga dihias dengan relief burung Garuda di dalam lingkaran, sehingga sering dinamakan tanda Garudamukha, pada prasasti raja-raja Kadiri, pada bagian puncaknya kerapkali dijumpai relief yang menggambarkan permata yang bersinar dalam bingkai lingkaran, atau yang menggambarkan bentuk lainnya yang belum dapat diidentifikasikan.
Mengenai hiasan rangkaian gunung pada batu prasasti Gajah Mada ini –bahkan sampai digambarkan 2 kali di bagian puncak batu prasasti dan bawahnya– cukup menarik untuk diperbincangkan dan dikaji secara lebih serius. Tentunya bentuk tersebut bukan semata-mata sebagai hiasan, melainkan pasti memiliki sebuah makna lain. Dalam kebudayaan Jawa Kuno terutama ketika pusat kekuasaan telah berada di Jawa bagian Timur, terdapat gunung yang senantiasa dihormati karena bentuknya yang sangat mirip Gunung Mahāmeru. Gunung itu adalah Penanggungan yang nama kunonya disebut Pawitra, ketinggiannya hanya 1635 m dpl, namun karena bentuknya yang istimewa (terdapat puluhan candi-candi kecil di bagian lereng-lerengnya), maka berkembanglah mistos yang diuraikan dalam kitab Tantu Panggelaran (paruh pertama abad ke-16), bahwa Pawitra adalah puncak Mahāmeru yang telah dipindahkan ke Jawadwipa, sedangkan tubuhnya menjadi Gunung Sumeru (Mahameru) yang merupakan sebuah gunung tertinggi di pulau Jawa.
Dapat kiranya ditafsirkan bahwa rangkaian gunung yang digambarkan dalam Prasasti Gajah Mada tersebut sebenarnya hendak menggambarkan puncak Mahāmeru di Jawa alias Pawitra yang dikelilingi oleh 4 puncak bukit lain di sekitarnya, dan 4 lainnya pada lingkaran yang agak jauh dari puncak Pawitra. Dengan demikian Pawitra di kelilingi oleh 4 + 4 = 8 puncak bukit di sekelilingnya, keadaan demikian sama dengan mitologi Gunung Mahāmeru, gunung tertinggi di dunia yang puncaknya tempat persemayaman dewa. Dengan demikian melalui penggambaran Gunung Pawitra pada prasasti batu yang dikeluarkannya itu, Gajah Mada sebenarnya hendak menghormati atau memuliakan Gunung Penanggungan tersebut.
Mengapa Gunung Penanggungan yang digambarkan dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada tersebut ?. Mungkin selain mengungkapkan simbol Mahāmeru sebagai persemayaman para dewa, tempat persemayaman leluhurnya, tetapi juga sangat mungkin bermaksud mengungkapkan rasa kagum terhadap gunung tersebut, sebab di salah satu sisi lerengnya dirinya dahulu dilahirkan, dia akan lebih bangga apabila mengaku (disebut) "Putera Pawitra", puteranya Gunung Mahāmeru. Mengenai lereng sisi mana tepatnya, maka tentu saja perlu penelusuran terhadap sumber tertulis secara cermat, menyusuri adanya tinggalan-tinggalan arkeologis, dan mendata kembali berbagai legenda yang berkenaan dengan Mahāpatih Gajah Mada di wilayah sekitar Gunung Penanggungan ini. Dengan demikian langkah selanjutnya adalah mencoba untuk menafsirkan lokasi tepat tempat kelahiran Gajah Mada tersebut.
Bersambung ................. Madakaripura.
Posting Komentar