Artikel tentang Lambang-lambang Kerajaan Majapahit ini akan membahas 4 (EMPAT) Lambang Negara Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) ketika masih beribukota di WILWATIKTAPURA (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur). Asumsi saya karena di masa itu sajalah kita secara keilmuan mengakui keberadaan suatu negara yang berdaulat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui juga oleh negara lain. Lambang ke-5 hingga ke-7 walaupun digunakan sebagai identitas Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) saya rasa kurang pada tempatnya, karena telah bergeser ruh kenegaraannya baik pada fase kemunduran di Kediri maupun masa pelarian di lokasi lainnya (kurangnya pengakuan kedaulatan dari negara lain).
Yang menarik walaupun bentuk lambang dan ibukotanya sudah berubah, leluhur di Majapahit (WILWATIKTA) menamakannya sama : “SURYA WILWATIKTA” (Matahari WILWATIKTA). Walau pada saat ini banyak orang dan ahli sejarah menamakannya dengan SURYA MAJAPAHIT. Tetapi eksistensinya adalah sama, sistim pemerintahan di Majapahit (WILWATIKTA) yang mengacu pada poros utama atau matahari atau mandala.
1. Lambang Ke-1 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA (Raden WIJAYA), secara umum berbentuk matahari yang memancarkan sinarnya dengan sempurna ke segala arah (banyak sudut arahnya), dan ditengahnya ada ornamen Dewa SYIWA berbusana perang menunggang kuda. Filosofi lambang ini sangat kental dengan pengaruh agama SYIWA-BUDHA dalam transisi kerajaan SINGHASARI ke kerajaan MAJAPAHIT. Mertua beliau yang merupakan raja terakhir SINGHASARI : SRI KERTANEGARA juga mengklaim dirinya adalah titisan SYIWA seperti halnya leluhur pendahulunya (KEN AROK). Pada masa itu penguasa puncak atau raja digelari sebagai SYIWA GIRINDRA atau Dewa SYIWA yang menitis kedunia guna membasmi keangkara murkaan guna menyelamatkan dunia. Pemakaian lambang ini sangat terkesan heroik, bila kita hubungkan dengan sejarah pelarian Raden WIJAYA ke Madura, pertempuran dengan Raja JAYAKATWANG hingga pengusiran tentara TARTAR. Semua dilalui dengan pertempuran hebat dan diakhiri dengan kemenangan yang gemilang. Sama dengan bentuk lambang tersebut, Dewa SYIWA yang perkasa di medan tempur dan menyinarkan cahaya kemenangan. Sama pula dengan lambang itu, dimana Dewa SYIWA sebagai tokoh TUNGGAL dengan peran Raden WIJAYA yang bertindak sebagai tokoh SENTRAL dan berperan TUNGGAL (Monarchi Absoulute), walaupun disekelilingnya banyak kaum bangsawan dan ksatrya yang sesungguhnya mempunyai kedudukan sama dan bahkan ada yang lebih tinggi. Semua sistem dimainkan secara SENTRAL KETOKOHAN, walau untuk itu harus ditebus sangat mahal dalam pemberontakan RANGGALAWE (ARYA ADIKARA) – Adipati Tuban sahabat sekaligus adik angkatnya (RANGGALAWE adalah putra dari ARYA BANYAK WIDE – Adipati di Sumenep, Madura, merupakan pelindung utama Raden WIJAYA ketika mengungsi di Madura. Setelah sukses menjadi raja, ARYA BANYAK WIDE di anugrahi nama ARYA WIRARAJA = Bangsawan Pembela Raja, dan putranya ARYA RANGGALAWE dianugrahi nama ARYA ADIKARA = Bangsawan Adik dari Raja, karena saat mengungsi mereka saling mengangkat diri menjadi saudara). Disusul dengan pemberontakan lainnya SORA. Lambang ini juga dipakai raja kedua SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA (DYAH JAYANEGARA), dimasanya juga banyak sekali pemberontakan : KUTI, NAMBI, GAJAH ENGGON dan banyak lagi. Asumsi saya lambang Dewa SYIWA yang menggunakan busana perang itu lah penyebabnya, mengendalikan alam bawah sadar pemimpin sentral mencapai kesuksesan dengan cara berperang terlebih dahulu.
2. Lambang Ke-2 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan Ratu Ke-3 : SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI atau DYAH GITARJA. Menyadari sejarah kelam pemberontakan di era kepemimpinan kakaknya, maka beliau merombak total sistem kenegaraan yang ada. Beliau mengadopsi pemikiran kakeknya (Raja SINGHASARI : SRI KERTANEGARA), dibantu para bibi sekaligus ibunya (4 putri SRI KERTANEGARA dikawin oleh Raden WIJAYA) merumuskan arah baru dari kebijakan politis negara. Menyadari sekalipun darah raja mengalir kental dalam tubuhnya akan tetapi beliau menyadari seorang wanita, pertikaian kekuasaan yang pernah terjadi di era SINGHASARI antara putri dari prameswari dan putra dari selir juga menjadi pertimbangan utama. Di era inilah kali pertama sebuah kekuasaan dibagi secara merata dan berporos pada poros utama (semacam negara Konfederasi), ibukota negara dianggap pusat yang paling berkuasa dikawal oleh para raja bawahan yang juga kerabatnya. Wilayah bawahan utama ini dipimpin oleh raja bawahan bergelar BHRE (baik pria atau wanita menyandang gelar ini) sejumlah 6 (ENAM) orang. Ditambahkan dengan 2 (DUA) orang mewakili pondasi negara (golongan senopati perang utama yang mengasingkan diri (tidak mau terlibat atau digunakan dalam pertikaian keluarga), mereka hanya turun gunung bila negara membutuhkan dan bangsawan yang mengasingkan diri karena menjaga ajaran agama dan melahirkan pemikiran ketata negaraan). Pemikiran konteks keagamaan mewarnai sistem bentukan baru ini, tidak lepas dari peran Maha Rsi MAUDARA yang mengangkat ajaran NAWA SANGA (Sembilan Dewa Hindu penguasa ARAH). Maka saat itu dikenal adanya SAPTAPRABHU ri WILWATIKTA (7 Raja Pengendali pemerintahan, 1 Raja di pusat dan 6 Raja bawahan), sedangkan 2 penguasa lainnya berperan sebagai katalisator kebijakan yang mempunyai hak veto terhadap keputusan SAPTAPRABHU. Ploting ini sempat dipakai dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu adanya FRAKSI ABRI dan UTUSAN DAERAH. Fraksi ABRI punya hak veto bila suatu keputusan politis bisa dianggap membahayakan keselamatan negara, sedangkan UTUSAN DAERAH punya hak veto bila kebijaksanaan pemerintah pusat tidak sesuai dengan kondisi dan kebijakan daerah, tapi di era Presiden SUHARTO sistem ini dimandulkan, dengan memilih anggota Fraksi ABRI dari golongan tertentu dan mengisi UTUSAN DAERAH justru dari istri-istri para pejabat bukannya tokoh adat dan agama. Sistemnya sudah seiring tapi pelakunya dimanipulasi ….. itulah sejarah, JANGAN DIULANG !!! Kekuatan bersenjata yang tertimbun satu dekade kekuatannya paska perang pendirian kerajaan sering kali terlibat pemberontakan pada jaman raja ke-2, di masa ini bukannya di netralisir tetapi malah dibina dan dikembangkan menjadi jauh lebih besar. Hal ini disebabkan energi tempur itu disalurkan dengan cara yang benar guna melakukan ekspedisi penyatuan nusantara seperti pemikiran SRI KERTANEGARA yang sempat tertunda akibat runtuhnya SINGHASARI dan lahirnya MAJAPAHIT. Sehingga Lambang Negara Ke-2 inilah yang banyak tersebar diseluruh nusantara dan mancanegara sebagai lambang Majapahit (WILWATIKTA). Lambang 8 Dewa yang setingkat menguasai arah dan berporos kepada Dewa SYIWA sebagai penentu utama, sinar matahari diubah hanya bersudut delapan sesuai arah mata angin. Arah Utara-Timur-Selatan-Barat mempunyai sinaran lebih pendek mempunyai arti raja penguasa arah tersebut (ditinjau dari pusat ibukota) difungsikan sebagai penyangga kekuatan ibukota (kebijakan dalam negeri), sedangkan 4 raja dengan arah lainnya mempunyai sinaran lebih panjang sebagai arah raja yang mengelola manajemen logistik ekspedisi penyatuan nusantara dan perdagangan (kebijakan luar negeri). Pada masa inilah Majapahit (WILWATIKTA) mencapai masa keemasannya, konsistensi, kerja keras, manajemen tingkat tinggi dan soliditas kepemimpinan yang disebar merata lah kunci utamanya. Lambang ini dipakai oleh 3 (TIGA) orang Raja/Ratu yaitu : Ratu Ke-3 SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI; Raja Ke-4 SRI TIKTAWILWA NAGARESWARA SRI RAJASANAGARA atau DYAH HAYAMWURUK; dan Raja/Ratu Ke-5 KUSUMAWARDHANI.
3. Lambang Ke-3 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat paska / setelah perang PAREGREG, yaitu perang saudara antara menantu Dyah Hayamwuruk Sri Rajasanagara : WIKRAMAWARDHANA dengan putranya dari selir : BHRE WIRABHUMI. Sebetulnya tahta pemerintahan diserahkan kepada putri Hayamwuruk : KUSUMAWARDHANI (kami mengakuinya sebagai raja / ratu ke-5, tetapi banyak sejarahwan melewatinya dan langsung menganggap raja berikutnya adalah WIKRAMAWARDHANA). Ditengah masa pemerintahannya KUSUMAWARDHANI yang putri dari prameswari digugat oleh saudara lelakinya yang turun dari putra selir : BHRE WIRABHUMI. Yang merasa dirinya turun dari “Pancer Laki”, tetapi semua keluarga besar yang tergabung dalam Sapta Prabhu ri Wilwatikta mempertahankannya, karena patern yang dipakai Majapahit saat itu adalah RAJASA Wangsa. Dan darah Rajasa mengalir kental ditubuhnya, ayahnya dan ibunya adalah saudara sepupu ….. garis trah yang tak terbantahkan. Karena saudara tirinya merongrong lewat beberapa pemberontakan dan menurunkan wibawa negara, kekuasaan diserahkan kepada suaminya atas persetujuan Sapta Prabhu ri Wilwatikta. Dengan dasar masih adanya hubungan darah (Wikramawardhana adalah saudara sepupu Kusumawardhani dari bibinya Dyah Nirttaja atau Bhre Pajang), mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus dan pandai olah kaprawiran. Sehingga upaya kudeta dari Bhre Wirabhumi dihadapinya dengan berani atas dukungan seluruh keluarga besar Majapahit. Perang ini berjalan lama dan menimbulkan banyak LUKA didalam keluarga. Akhir kata WIKRAMAWARDHANA dapat memenangkan perang Paregreg dan resmi diangkat menjadi raja Majapahit berikutnya. Tetapi keluarga dari Bhre Wirabhumi memprotes hebat, karena Wikramawardhana walaupun berdarah Rajasa bukan turunan langsung pendiri Majapahit (Sang Rama Wijaya). Karena kakeknya Wijayarajasa atau Bhre Wengker adalah pancer laki dari luar trah utama (neneknya yang putri dari Raden Wijaya). Hal tersebut menjadi pertimbangan mendalam dalam sistem pemerintahan kolektif di Majapahit, sehingga diputuskan mulai saat itu Majapahit tidak lagi menggunakan rajakula RAJASA WANGSA (anak keturunan Sang Rajasa) tetapi menggantinya dengan rajakula BRAWIJAYA (anak keturunan Sang Rama Wijaya), beliaulah pemakai pertama gelaran BRAWIJAYA (walau hal ini masih jadi perdebatan diantara para ahli, karena tidak adanya dokumen resmi negara yang merujuk rajakula baru ini, tetapi dikenal luas justru oleh cerita rakyat dan babad). Beliau menunjukkan kearifannya dengan melakukan rekonsiliasi dengan keluarga Bhre Wirabhumi, dengan menempatkan keluarganya sebagai salah satu raja bawahan penentu kebijakan dan menambahkan pula keluarga asalnya. Hal ini membuat Majapahit tidak lagi bergantung pada 7 Raja dan 2 elemen, tetapi menjadi 9 Raja dan 2 elemen. Karenanya lambang negara dirubah menjadi matahari bersinar 10 (8 Raja bawahan dan 2 elemen) yang keputusan utamanya diwakili Raja Utama di pusat pemerintahan. Karena beliau bukan “Treseping Madu Trahing Kusumo” maka elemen dewa tidak bisa digambarkan mewakilinya, maka gambaran dewa dihilangkan dan diganti lambang kekuasaan utama “WILWATIKTA Jayati” (Wilwatikta yang berjaya) ditengah poros lingkarannya.
4. Lambang Ke-4 :
Adalah Surya WILWATIKTA yang dibuat setelah era pemerintahan Prabhu Stri SUHITA, yaitu : SRI RAJASAWARDHANA DYAH WIJAYAKUMARA yang dahulunya bergelar SANG SINAGARA yang berkuasa selaku BHRE PAMOTAN, KELING dan KAHURIPAN. Ini jelas menambah kompleksitas kekuasaan di dalam keluarga yang ada, karena semakin menjauhkan eksistensi dari dinasti RAJASA sebagai pondasi awal kerajaan ini. Seperti diketahui dalam kitab : NEGARAKRETAGAMA dan PARARATON, perkawinan penerus dinasti RAJASA : KUSUMAWARDHANI (Puteri DYAH HAYAMWURUK) dengan SRI WIKRAMAWARDHANA tidak membuahkan keturunan, sehingga kekuasaan justru turun kepada putrinya dari istri selir : Prabhu Stri SUHITA. Permasalahan kembali terjadi dimana sang Rani juga tidak mempunyai keturunan (diriwayatkan hanya mengambil putra angkat), sehingga kekuasaan di alihkan kepada saudara tirinya : SRI RAJASAWARDHANA DYAH WIJAYAKUMARA yang juga putra selir dari SRI WIKRAMAWARDHANA (ibu yang berbeda dengan Prabhu Stri SUHITA). Tentunya ini merubah peta politik keluarga berpengaruh di dalam Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit), sehingga lambang negara dirubah menjadi SURYA WILWATIKTA yang mempunyai 16 (enam belas) sinar mewakili : 8 keluarga dinasti RAJASA pada lingkaran bagian dalam dan 8 keluarga dinasti BRAWIJAYA pada lingkaran bagian luarnya. Lambang ini dipakai sampai Raja WILWATIKTA terakhir yang berkuasa atas ibukota ASTAWULAN / TROWULAN yaitu : BHRE KERTABHUMI. Dimana kekuasaanya yang melemah karena adanya bencana yang mengepung ibukota berupa luapan gunung lumpur yang terjadi secara secara bersamaan di sisi barat (gunung anyar di Jombang) dan di sisi timur dekat wilayah Watukosek saat ini telah mengisolasi ibukota. Lemahnya koordinasi dengan negara bawahan dan korupsi yang menggerogoti negara telah menggoda kerabatnya sendiri BHRE DAHA / KELING : SRI GIRINDRAWARDHANA DYAH RANAWIJAYA turun gunung mengambil alih kekuasaan. Usahanya berhasil dan atas berbagai pertimbangan (adanya bencana geologis di sekitar TROWULAN) ibukota negara dipindahkan ke daerah Kediri atau saat itu dikenal sebagai DAHANAPURA / DAHA yang berlokasi lebih tinggi. Maka berakhirlah kisah Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit), karena dengan dipindahnya ibukota negara ke DAHA (walaupun juga memakai lambang SURYA WILWATIKTA yang kemudian dimodifikasi pula), saya menganggap telah hilang ruh kenegaraannya.
CATATAN :
Ibukota WILWATIKTA (Majapahit) di DAHANAPURA inilah yang kemudian balas digempur oleh Panglima Adipati Demak Bintara JINBUN (Raden PATAH), karena menuntut balas kekalahan ayahandanya BHRE KERTABHUMI. Jadi perlu digaris bawahi tentang pemahaman sejarah yang berkembang KELIRU, seakan-akan Raden PATAH itu menyerang ayahandanya, padahal yang diserang adalah PAMANnya yang berkuasa di DAHANAPURA dan bukannya di TROWULAN.
Sumber : http://wilwatiktamuseum.wordpress.com/tanda-kebesaran-wilwatikta/lambang-kerajaan-wilwatikta-majapahit/
Posting Komentar