Pendirian candi di Indonesia khususnya Jawa Timur sebagian besar masih dalam keadaan ‘kelabu’, hal ini disebabkan terbatasnya data arkeologis yang terkait dengan pendirian dan tata bangun candi. Data lama dan pendapat sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa candi adalah makam raja dan kerabatnya, ternyata hal ini tidak benar. Negarakertagama sebagai data arkelogis menduduki urutan kedua (bahkan bisa pertama) tingkat validitasnya bila dikorek datanya terkait dengan tata cara pendirian candi, maka akan menggambarkan tata cara pendirian candi yaitu pada peristiwa Sradha Agung Sri Rajapatni. Di samping menggunakan kitab Negarakertagama tata cara pendirian candi ini akan didasarkan pula pada data-data lain sebagai acuan pembahasan. Data lain yang digunakan sebagai acuan misalnya seni bangun/arsitektur candi, bahasa rupa relief candi, hasil kajian ikonografis, dan lain-lain. Berdasarkan datadata tersebut terlihat bahwa pendirian candi di Jawa sangat memperhatikan hubungan keselarasan, keserasian, keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang didasarkan atas sistem religi Hindu. Dengan kata lain, pendirian candi saat itu sangat kosmologis, yang jarang dijumpai pada konsep pembangunan gedung di masa sekarang ini.
Pendahuluan.
Siapakah yang membuat (membangun) sandi-candi di Indonesia (pada era kerajaan Majapahit) pada masa Hindu-Budha dan bagaimana tata cara pembuatannya? Pertanyaan ini sampai kini belum mendapat jawaban yang memuaskan. F.D.K. Bosch (dalam Suru 1983: 85) berpen-dapat bahwa para pelaksana pembuatan candi-candi itu adalah orang-orang Indonesia sendiri, dan mereka berpegang pada kitab-kitab tuntunan yang disebut Çilpasastra, yang merupakan buah karya orang India. Di dunia seni bangun Hindu khususnya dalam pembuatan bangunan-bangunan suci sedapat mungkin mengikuti pedoman-pedoman yang terdapat dalam kitab-kitab petunjuk, seperti misalnya kitab Çilpasastra itu. Walaupun di Indonesia belum pernah ditemukan Çilpasastra tersebut, tetapi aturan-aturan pembuatan candi ini tampaknya diturunkan secara lisan sehingga tidak pernah sampai kepada generasi sekarang (Bosch 1924: 6 - 41, 26 dalam Santiko 1987:77). Pendapat ini didasarkan pada kesesuaian antara jenis-jenis bingkai (pelipit), pilaster-pilaster serta ukuran pada candi-candi tua di Jawa Tengah dengan uraian Çilpasastra (Vastusastra) terutama kitab Manasara (Santiko 1995:7). Pada umumnya para arsitek patuh mengikuti pedoman-pedoman yang termuat dalam kitab-kitab tersebut, tetapi lama kelamaan mereka makin membebaskan diri. Bangunan-bangunan candi di Indonesia, makin lama makin mengandung unsur Indonesia (Suru 1983: 86).
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa latar belakang penciptaan candi adalah untuk makam raja atau kerabatnya, bahkan mata pelajaran Sejarah di SMP dan SMA juga mengatakan demikian. Kebenaran tentang pendapat ini sangat terkait dengan tata cara pendirian candi. Membahas tata cara pendirian candi sebagian ahli menggolongkannya pada kajian arkeologis, tetapi sebenarnya hal ini secara integral masuk dalam pengetahuan tentang sejarah kesenian khususnya sejarah seni rupa. Oleh karena itu pembahasan sejarah seni rupa sering pula melibatkan data-data arkeologis sebagai pijakan.
Pendapat mengenai candi sebagai makam, semula didasarkan pada etimologi bahwa kata candi berasal dari kata candikarga yang artinya rumah candika. Candika adalah nama dewi Durga. Dewi Durga adalah dewi penguasa jiwa, Dewi Maut atau dewi kematian. Dengan demikian pengertian candi adalah bangunan yang berhubungan dengan dewi Durga. Yang dikuburkan dalam bahasa Kawi disebut cinandi (Soekmono 1981:81). Kaitannya dengan Durga dan istilah cinandi inilah, akhirnya masyarakat menyebut candi sebagai makam. Terlebih lagi dengan ditemukannya pendaman abu yang dikuburkan pada pondasi atau dasar candi, sesuai dengan masa raja yang memerintah maka memperkuat pendapat masyarakat bahwa candi adalah makam raja. Selain itu pengertian candi sebagai makam karena juga terkait dengan pendapat masyarakat bahwa candi adalah cungkup. Sebutan cungkup oleh masyarakat awam identik dengan makam.
Setelah mengadakan penelitian panjang untuk disertasinya, Soekmono (1977:241) menegaskan bahwa candi bukanlah makam, tetapi candi adalah bangunan kuil. Setelah diadakan uji laboratorium, berdasarkan temuan Soekmono, abu yang terdapat dalam peripih di dasar candi adalah abu binatang korban, bukan abu manusia (raja). Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk para raja atau orang terkemuka. Menurut Yudoseputro (1993: 118), sebutan candi sebagai bangunan suci di India sendiri tidak dipakai. Sebagai bangunan kuil tempat menyelenggarakan upacara agama Hindu di India dikenal dengan sebutan vimanna yang berarti rumah dewa atau ratha yang berarti kendaraan dewa. Sedangkan untuk keperluan ibadah agama Budha di India dikenal dengan sebutan stupa atau çaitya, çaityagraha dan vihara. Di Indonesia bangunan suci Budha juga disebut candi. Itulah sebabnya mengapa sebutan candi di Indonesia menunjuk bangunan yang memiliki bermacam-macam fungsi. Ada candi yang berfungsi sebagai kuil Hindu, candi sebagai stupa dan bihara Budha, candi sebagai pintu gerbang, candi sebagai bale kambang (Yudoseputro 1993:118). Selain itu masih ada lagi sebutan untuk candi yaitu candi pahatan misalnya di Gunung Kawi Bali (Yudoseputro 1993:123) atau sering disebut candi pertapaan/gua pertapaan seperti Gua Selomangleng di Kediri dan Tulungagung Jawa Timur (Yudoseputro 1993: 128; Santiko 1995:2). Analog dengan pemikiran ini mungkin tidak semua peninggalan seni bangun yang oleh awam disebut candi, dapat didefinisikan sebagai candi dalam artian yang benar secara etimologis (Suru 1983: 85).
Pada akhirnya candi sering dipandang sebagai monumen atau bangunan peringatan dari raja yang meninggal (Yudoseputro 1993:118). Lebih lanjut Yudoseputro menjelaskan bahwa kebiasaan untuk mengabadikan kekuasaan raja bertolak dari alam pikiran memuja atau kultus raja, suatu alam pikiran yang bersumber pada kepercayaan lama dari kebudayaan Indonesia. Alam pikiran ini juga berpengaruh kepada pandangan mengenai arca dewa yang disimpan di kamar/bilik candi. Arca dewa itu juga dipandang sebagai perwujudan dari raja yang meninggal, suatu pandangan bahwa raja adalah titisan dewa (Yudoseputro 1993:118). Paham semacam ini oleh Subagya disebut paham dewaraja (Subagya 1981:79). Oleh karena itu sering terdengar ungkapan bethara ngejawantah, atau dalam ajaran Hindu dewa sering muncul dalam bentuk advaita, angsha, avatara, aradhana dan pratista, sebagai contoh Brahma dalam bentuk Ken Arok (Subagya 1981:79). Secara rinci alasan bahwa candi bukanlah makam raja, dapat diikuti pada uraian selanjutnya dan sekaligus terkait dengan uraian tentang tata cara pendirian candi di Indonesia atau di Jawa khususnya.
Kosmologi pendirian candi.
Sistem Religi Hindu sebagai latar belakang pendirian candi.
Fungsi candi yang beragam sebagaimana diuraikan di atas, disebabkan oleh kesalahanmasyarakat secara umum yang memberi label “candi” pada bangunan suci Hindu atau Budha. Oleh karena itu perlu dibahas latar belakang pendirian candi secara kosmologis. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran tentang latar belakang pendirian candi sesuai dengan alam pikir masyarakat saat itu, bukan atas dasar konsep penciptaan candi berdasarkan teori yang berkembang untuk melatarbelakangi penciptaan karya seni saat ini, misalnya saja teori estetika formal (Barat) atau teori estetika berdasarkan pendapat sejumlah ahli estetika Barat.
Berfikir kosmologis akan mengembalikan kedudukan candi pada kosmologinya. Kosmologi
secara leksikal berarti:
(1) cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang
waktu dari alam semesta;
(2) ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem
matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagad raya;
(3) cabang dari metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:463).
Istilah “kosmologi” ini tidak hanya digunakan pada bidang Astronomi [menunjuk arti leksikal (1) dan (2)], tetapi juga digunakan di bidang Antropologi, Arkeologi, dan ilmu budaya lainnya.
Penggunaan istilah “kosmologi” pada teori-teori budaya ‘cenderung’ pada arti yang ketiga (walaupun tidak persis sama), yaitu: cabang dari metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan Purwanto (dalam Imajinasi, vol. 2 Januari 2005) sebagai berikut:
“Kosmologi memiliki makna keteraturan, keseimbangan, dan harmoni yang manifestasinya adalah sistem alam semesta sebagai makrokosmos. Dalam sistem itu Tuhan ditempatkan sebagai pusat kosmos yang mengatur keseluruhan sistem tersebut. Dalam budaya Jawa, konsep kosmologi diimplementasikan pada elemen-elemen di alam semesta ini antara lain manusia, rumah, desa, dan komunitas lain sebagai mikrokosmos. Konsep kosmologis pada kehidupan budaya masyarakat Jawa adalah menyatunya makro dan mikrokosmos yang lebih populer disebut manunggaling kawula lan Gusti”.
Terkait dengan pernyataan di atas, perlu dilacak bahwa masyarakat Jawa yang memiliki budaya Jawa telah mengalami serangkaian sejarah masa lalunya, sehingga dapat diidentifikasi kosmo-loginya. Kemunculan istilah manunggaling kawula lan Gusti bisa dilacak dari sejarah sistem religi ma-syarakatnya. Masyarakat Jawa sampai saat ini paling tidak mengalami masa lalu mulai dari Jaman Pra-sejarah, Hindu Budha, Islam, Kolonial, dan modern saat ini. Manunggaling kawula lan Gusti sebenarnya telah ada sejak masa Prasejarah dengan manifestasi roh nenek moyang yang berkedudukan di langit sebagai makrokosmos dan manusia di dunia sebagai mikrokosmos. Konsep ini diperkuat dengan da-tangnya kebudayaan Hindu Budha yang datang dari India. Dalam ajaran Hindu dikenal adanya 3 jaman yaitu: jaman Weda, jaman Brahmana, dan Upanisad. Jaman Weda keagamaan berkisar kepada pemu-jaan dewa (tenaga alam) guna mendapatkan keuntungan, dan dalam jaman Brahmana keagamaan berpusat kepada saji dan upacara saji yang menjadi monopoli kasta Brahmana, maka dalam jaman Upanisad ini keagamaan dibalikkan dari soal lahir menjadi soal batin (Soekmono 1981: 13).
Pada jaman Upanisad ini agama cenderung bersifat filosofis. Munculnya pendapat manunggaling kawula lan Gusti pada masyarakat Jawa tampaknya bersumber dari jaman Upanisad ini. Karena, pada jaman Upanisad pemeluk agama Hindu memiliki cita-cita luhur/mulia yang secara filosofis adalah bersatunya atman dan Brahman. Brahman adalah zat abadi/kekal yang dapat diidentikkan dengan makrokosmos (jagad besar). Brahman ibarat kembang api besar yang memercik ke segala arah. Nyala Brahman sebagai kembang api lebih lama dibandingkan dengan percikannya. Percikan Brahman sebagai pusat/pangkal alam seisinya ini disebut atman. Atman mendapat bentuk yang nampak yaitu manusia, binatang, dan sebagainya (Soekmono 1981: 14). Atman dapat diidentikkan dengan mikrokosmos (jagad kecil). Dengan demikian pendapat manunggaling kawula lan Gusti dapat diturunkan dari sistem religi agama Hindu yaitu bersatunya atman dengan Brahman sebagai cita-cita luhurnya. Dengan kata lain secara kosmologis sistem religi Hindu ini mendasarkan pada pandangan filosofis tentang bersatunya mikrokosmos (atman) dengan makro-kosmos (Brahman). Sistem inilah yang mendasari pendirian candi di Indonesia dan Jawa Timur khususnya pada era kerajaan Majapahit.
Bersambung.
Posting Komentar