Selamat datang di Blog "Majapahit Nusantara"

Mahapatih Gajah Mada seorang pemeluk Buddha

3komentar

Majapahit NusantaraTidak banyak informasi yang dapat diketemukan tentang patih kerajaan Majapahit ini, Mahapatih kerajaan Majapahit ini memang fenomenal dan kontroversial. Mahapatih kerajaan Majapahit ini sangat terkenal dengan Sumpah Palapa-nya yang mampu mempersatukan seluruh wilayah Nusantara.

Untuk mengetahui hal-hal tentang Mahapatih kerajaan Majapahit ini kita harus mengumpulkan beberapa bukti-bukti sejarah baik yang bersifat prasasti ataupun catatan sejarah yang valid semacam kitab Negarakretagama. Artikel atau tulisan kali ini akan berupaya mengungkapkan sebagian jati-diri Mahapatih Gajah Mada tersebut berdasarkan uraian yang terdapat dalam prasasti Singhasari (Gajah Mada) tahun 1351 M maupun uraian yang terdapat dalam kitab Negarakretagama tahun 1365 M.

Dari uraian kedua bukti-bukti sejarah tersebut terdapatlah suatu kesimpulan yang mendasar, yaitu : MAHAPATIH GAJAH MADA SEORANG PEMELUK AGAMA BUDHA.

Berikut uraian lengkapnya :

Uraian dalam Kitab Negarakretagama.
Kitab Negarakretagama ini adalah tulisan dari Mpu Prapanca yang telah selesai ditulis pada sekitar tahun 1365 M dengan judul aslinya Desawarnana (cerita atau uraian tentang desa-desa). Kitab ini ada sedikit memberikan uraian tentang tanah perdikan Madakaripura yang merupakan anugerah Raja Hayam Wuruk kepada Gajah Mada atas jasa-jasa yang telah dibuatnya selama mengabdi sebagai Mahapatih di kerajaan Majapahit.

Uraian tentang Madakaripura ini terdapat dalam Pupuh XIX, 2 sebagai berikut :
Tersebutlah dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah ;
Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gajah Mada, teratur rapi ;
Di situlah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas ;
Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.

Dalam pupuh tersebut diuraikan bahwa tanah perdikan Madakaripura merupakan sebuah dukuh yang bercorak "kasogatan"  artinya sebuah dukuh yang dihuni oleh mayoritas umat beragama Budha. Dukuh ini dianugerahkan oleh Sri Baginda (dalam hal ini Hayam Wuruk) kepada Gajah Mada, dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Mahapatih Gajah Mada ini adalah seorang pemeluk agama Budha dan oleh karenanya mendapat anugerah tanah (perdikan) yang bercorak "kasogatan".

Uraian dalam Prasasti Singhasari (Gajah Mada) tahun 1351 M.
Prasasti Singhasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah, Jakarta. Prasasti ini ditulis dengan Aksara Jawa Kuno. Dari uraian yang terdapat dalam prasasti ini, kita dapat mengetahui kesejarah-an dari tokoh Mahapatih Gajah Mada ini.

Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Adapun caitya atau candi pemakaman tersebut adalah untuk mengenang meninggalnya Raja Kertanegara (raja Singhasari terakhir). Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.

Isi lengkap dari prasasti tersebut adalah sebagai berikut :
0 / 'i śaka ; 1214 ; jyeṣṭa māsa ; 'irika diwaśanikamoktan. pāduka bhaṭāra sang lumah ring śiwa buddha /’ ; /’ swa-sti śri śaka warṣatita ; 1273 ; weśaka māsa tithi pratipā-da çuklapaks.a ; ha ; po ; bu ; wara ; tolu ; niri tistha graha-cara ; mrga çira naks.atra ; çaçi dewata ; bâyabya man.d.ala ;sobhanayoga ; çweta muhurtta ; brahmâparwweśa ; kistughna ;kâran.a wrs.abharaçi ; ‘irika diwaça sang mahâmantri mûlya ; ra-kryan mapatih mpu mada ; sâks.at. pran.ala kta râsika de bhat.â-ra sapta prabhu ; makâdi çri tribhuwanotungga dewi mahârâja sajaya wis.n.u wârddhani ; potra-potrikâ de pâduka bha-t.âra çri krtanagara jñaneçwara bajra nâmâbhis.aka sama-ngkâna twĕk. rakryan mapatih jirṇnodhara ; makirtti caitya rimahâbrâhmân.a ; śewa sogata samâñjalu ri kamokta-n pâduka bhaṭâra ; muwah sang mahâwṛddha mantri linâ ri daganbhat.âra ; doning caitya de rakryan. mapatih pangabhaktya-nani santana pratisantana sang parama satya ri pâda dwaya bhat.â-ra ; ‘ika ta kirtti rakryan mapatih ri yawadwipa maṇḍala /’

Terjemahannya adalah :
Pada tahun 1214 Saka (1292 Masehi) pada bulan Jyestha (Mei-Juni) ketika itulahsang paduka yang sudah bersatu dengan Siwa Buddha.Salam Sejahtera! Pada tahun Saka 1273 (1351 Masehi), bulan WaisakaPada hari pertama paruh terang bulan, pada hari Haryang, Pon, Rabu, wuku ToluKetika sang bulan merupakan Dewa Utama di rumahnya dan (bumi) berada di daerah Barat laut.Pada yoga Sobhana, pukul Sweta, di bawah Brahma pada karanaKistugna, pada rasi Taurus. Ketika sang mahamantri yang mulia. SangRakryan Mapatih Mpu (Gajah) Mada yang beliau seolah-olah menjadi perantaraTujuh Raja seperti Sri Tribhuwanotunggadewi Mahara-jasa Jaya Wisnuwarddhani, semua cucu-cucu Sri PadukaAlmarhum Sri Kertanegara yang juga memiliki nama penobatan Jñaneswara BajraDan juga pada saat yang sama sang Rakryan Mapatih Jirnodhara yang membangun sebuah candi pemakaman (caitya) bagi kaumBrahmana yang agung dan juga para pemuja Siwa dan Buddha yang sama-sama gugurBersama Sri Paduka Almarhum (=Kertanagara) dan juga bagi para Mantri senior yang juga gugur bersama-sama denganSri Paduka Almarhum. Alasan dibangunnya candi pemakaman ini oleh sang Rakryan Mahapatih ialah supaya berbhaktilahPara keturunan dan para pembantu dekat Sri Paduka Almarhum.Maka inilah bangunan sang Rakryan Mapatih di bumi Jawadwipa.

Dari uraian dalam prasasti ini jelaslah kepada kita semua bahwa Mahapatih Gajah Mada telah memprakarsai pendirian dan atau pembangunan Candi Singhasari sebagai penghormatan kepada Raja Kertanegara (raja Singhasari terakhir) yang pada dasarnya adalah seorang pemeluk "Shiwa-Budha". Bagaimana mungkin seseorang yang tidak beragama Budha bersedia dengan sukarela membangunkan sebuah candi yang bercorak "Shiwa-Budha" ? Dengan demikian semakin kuat dugaan kita bahwa Gajah Mada ini seorang pemeluk agama Budha karena membangun sebuah candi (Candi Singhasari) yang bercorak "Shiwa-Budha".

Majapahit Nusantara
Prasasti Singhasari tahun 1351 M

Dalam masa Jawa Kuno (masa kerajaan Singhasari-Majapahit) sebuah candi atau caitya bagi pemuliaan seorang tokoh (pendharmaan),  selalu dibangun oleh kaum kerabat atau keturunan langsung  tokoh tersebut. Banyak candi pendharmaan yang didirikan oleh anak-cucu sang tokoh, misalnya Candi Jago (Jajaghu) yang pernah dibangun dalam masa Singhasari untuk raja Wisnu-warddhana diperbaiki kembali oleh Mpu Aditya (Adityawarman) dalam masa Majapahit pada kisaran tahun 1265 Saka/1343 M, Candi Sumberjati bagi Nararya Sanggramawijaya dibangun pada sekitar tahun 1321 M dalam masa pemerintahan Jayanagara, serta diperbaiki kembali pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk pada tahun 1285 Saka/1363 M (pupuh LXX, kitab Negarakretagama) dan Candi Bhayalango pendharmaan bagi Rajapatni Gayatri dibangun oleh cucunya, yaitu Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) di sekitar tahun 1362 M. 

Mengingat Candi Singhasari adalah bangunan Mahapatih Gajah Mada yang digunakan sebagai tempat pendharmaan raja Kertanegara (raja Singhasari terakhir) sesuai dengan uraian dalam prasasti Singhasari tahun 1351 M, ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik adalah,"Mungkinkah Mahapatih Gajah Mada masih merupakan keturunan (cucu) atau setidaknya bertalian darah dengan raja Kertanegara ?", dan oleh karenanya Gajah Mada ini sangat begitu akrab dengan lingkungan istana. Jabatan awal saat Gajah Mada mulai melakukan pengabdian adalah sebagai "Bekel Bhayangkara" atau kepala pasukan pengawal raja. Tentunya dalam hal ini tidak semua orang dapat dengan mudah menempati posisi ini bilamana tidak memiliki kedekatan hubungan dengan pihak istana (Majapahit). Kenyataan ini akan dibahas pada artikel tersendiri.

Demikianlah uraian kami tentang Mahapatih Gajah Mada adalah seorang pemeluk agama Budha, semoga dapat membuka wawasan baru bagi kita semua.

Share this article :

+ komentar + 3 komentar

29 Desember 2013 pukul 07.59

Sebuah identifikasi personil yang cukup cermat ........ salut buat sang penulis

28 Desember 2015 pukul 19.22

Hahahahaha, Kasihan Gajah Mada punya generasi begini. Mari kita dalami lagi sejarah dan berani menerima kenyataan.

11 Maret 2016 pukul 14.48

Di era reformasi ini...tidak ada salahnya belajar akan hal sejarah...walaupun kenyataannya yang mengetahui sejarah hanya para pelaku sejarah tersebut...salam penulis

Posting Komentar

 
Support : Link | Link
Copyright © 2013. Majapahit Nusantara - All Rights Reserved
Template Created by Blogging Modify by Majapahit Nusantara
Proudly powered by Blogger